Apa itu Phytoremediation?
Phytoremediation atau dikenal sebagai Fitoremediasi (dari φυτο Yunani Kuno (nabati, tanaman), dan Latin remedium (memulihkan keseimbangan atau perbaikan) menggambarkan pengobatan masalah lingkungan (bioremediasi) melalui penggunaan tanaman yang mengurangi masalah lingkungan tanpa perlu menggali bahan kontaminan dan membuangnya di tempat lain.
Fitoremediasi terdiri dari konsentrasi polutan dalam tanah terkontaminasi mitigasi, air, atau udara, dengan tanaman mampu menurunkan atau menghilangkan logam, pestisida, pelarut, bahan peledak, minyak mentah dan turunannya, dan kontaminan lainnya dari berbagai media yang mengandung mereka (Wikipedia).
Phytoremediation pada dasarnya mengacu pada penggunaan tanaman yang melibatkan mikroba tanah untuk mengurangi konsentrasi atau efek dari racun kontaminan pada lingkungan. Phytoremediation secara luas diterima sebagai teknologi restorasi yang cost-effective (Greipsson S,2011).
Phytoremediation merupakan suatu “green technology” yang memberikan solusi pembersihan inovatif serta efektif secara pembiayaan. Phytoremediation adalah penggunaan tanaman dan mikroba terkait untuk membersihkan lingkungan yang tercemari limbah berbahaya (Syabani MW, 2017).
Proses Phytoremediation
Phytoextraction (penangkapan kontaminan)
Rhizofiltration (penyaringan kontaminan)
Phytostabilization (menstabilkan kontaminan)
Rhyzodegradation (penghancuran kontaminan pada akar)
Phytodegradation (penghancuran kontaminan oleh enzim tumbuhan itu sendiri)
Phytovolatization (penangkapan dan melepaskan dalam bentuk yang kurang berbahaya)
Tanaman yang Sesuai untuk Phytoremediation
Menurut Baker (2002), keberhasilan phytoremediation sangat tergantung pada keberadaan spesies tanaman yang mampu mentoleransi dan mengumpulkan logam dalam konsentrasi yang tinggi (hyperaccumulator), mempunyai faktor transfer dari lingkungan ke akar yang tinggi, produksi biomass yang besar dan mampu tumbuh secara cepat (Gheju, 2002).
Beberapa tanaman yang mempunyai sifat hyperaccumulator terhadap logam krom adalah Leptospermum scoparium (Teh Selandia Baru) (Lyonetal, 1971), Commelina communis L. (Asiatic dayflower) (Tang et al., 2002), Pteris vittata (Chinese brake fern) (Suetal, 2005), Salsola kali (Tumbleweed) (Gardea-Torresdey et al., 2005), Leersiahexandra swartz (Southern cutgrass) (Zhang et al., 2007), Brassica juncea (Indian mustard) (Hema et al., 2008). Sedangkan tanaman yang tidak bersifat hyperaccumulator akan tetapi mempunyai biomass besar dan waktu tumbuh cepat juga berpotensi seperti Zea mays (jagung) (Gheju, 2002).
Tanaman lainnya yang membantu proses Phytoremediation:
Papirus, Akar Wangi, Spider Lili, Bambu Air, Heliconia Kuning, Cana Presiden, Anturium Merah, Alamanda Kuning, Dahlia, Dracenia Merah, Jaka, Lotus Kuning/Merah, Onje Merah, Pacing Merha/Putih, Padi-padian, Pisang Mas, dll.
Kelemahan
Terdapat beberapa kekhawatiran terhadap penggunaan metode phytoremediation. Permasalahan yang muncul adalah sejauh mana tumbuhan yang bersifat mengakumulasikan logam dapat mempengaruhi rantai makanan melalui herbivora dan serangga yang mengkonsumsi biomas tanaman yang telah teracuni.
Kelemahan lain yaitu pemakaian tanaman bukan asli menjadi kekhawatiran karena berpotensi mempengaruhi keanekaragaman hayati asli suatu daerah. Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan menggunakan tanaman asli dari daerah tempat phytoremediation atau tanaman yang telah disterilisasi. Sebagai contoh Pterocarpus indicus dan Jantropha curcas di Indonesia (Mangkoedihardjo, 2006), Cynodon dactylon dan Pluchea indica di Thailand (Pantawat et al., 2005) dan Water hyacinth serta water lettuce di Vietnam (Hung et al., 2009).
Comments